Penulis: Fajlurrahman Jurdi
(Dosen/ Ketua Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas Hukum Unhas).
Suatu waktu, di depan ruang lobi Fakultas Hukum Unhas, saya berdiri menjemput tamu dari Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Tamu itu para pejabat di lingkungan Kejaksaan, mereka seringkali datang silaturrahmi ke Fakultas, sekali-sekali menengok Pusat Kajian Kejaksaan, sebuah lembaga yang didirikan khusus untuk mendorong Kejaksaan supaya lebih progresif. Semacam pusat pengembangan intelektual untuk kepentingan riset dan kemajuan bagi lembaga ini.
Berdiri sambil menengok, melihat muda-mudi hilir mudik, para mahasiswa yang baru datang dan yang akan pulang, beberapa orang dosen ditugaskan menyambut mereka. Kadang-kadang juga, mereka gak terlalu sering disambut, karena mereka menganggap Fakultas Hukum adalah “rumah kedua” bagi segenap Jaksa. Namun dalam keadaan tertentu, terutama jika datang tamu dari Kejaksaan Agung, sebagai tuan rumah yang baik, Fakultas Hukum selalu menyambut dengan penuh hormat.
Selang beberapa saat, iringan mobil tiba, berhenti tepat di depan pelataran lobi, lalu satu persatu turun dari kendaraan. Kami menyalami satu persatu, lalu mempersilahkan mereka masuk ke lobi, keluar pintu sebelah kanan, lalu naik lift ke lantai dua, melewati pelataran dan masuk ke lobi ruang dekan. Sebagian berhenti hanya sampai di lobi, sebagian yang lain masuk ke ruangan dekan.
Di antara tamu-tamu itu, ada seorang lelaki paruh baya, yang ketawa-nya renyah, dia selalu happy dan tak ada sekat dengan yang lain. Seolah ia adalah warga kampus, yang tiap hari ketemu dengan para dosen. Humble, itulah kira-kira kata yang tepat. Geraknya lincah, perawakannya kecil, sorot matanya tajam, rambutnya lurus, disisir sebelah, logatnya bukan khas bugis, dan tidak ada tanda dia orang Sulawesi.
Sesekali dia bercanda, lalu tertawa renyah, seolah tak ada beban. Dengan pakaian dinas Jaksa, wibawa dan sorot matanya menakjubkan, namun sikapnya yang simple dan sederhana, caranya bergaul yang egaliter, membawa kesan yang kuat, dia orang baik.
Belakangan baru saya tau, namanya Fery Tas. Awalnya saya kira namanya ditulis dengan kata Feritas, tidak dipisah, tapi ternyata harus dipisah, Fery Tas. Nama lengkap yang sebenarnya adalah Fery Taslim. Entah kenapa, ia menyingkatnya menjadi Fery Tas, terutama sebagai nama pena-nya. Nama yang singkat, simple, sederhana, sesederhana dan se-simple orangnya. Ia memiliki jabatan mentereng, Asisten Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, atau lebih sering disebut Asdatun di Kejati Sulsel. Tanpa sekat, tanpa protokol, ngobrol dengan pak Fery selalu asyik, karena dasarnya mengasyikan. Sebelumnya, ia adalah Kajari Bukittinggi, lalu dipercaya memegang jabatan sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Kepri, sebelum ia “berlabuh” di Sulsel.
Sebagai ketua Pusat Kajian Kejaksaan, saya selalu berhubungan dengan Kejaksaan, tak terkecuali, pak Fery. Saya akrab dengan pak Fery, tidak saja dalam konteks relasi pusat kajian dengan Kejaksaan, tetapi juga, dalam banyak hal.
Salah satu yang mempertemukan saya dengan pak Fery adalah, tradisi intelektualnya yang kuat. Saya adalah penulis, dan ternyata, saya tak menduga sebelumnya, pak Fery adalah penulis produktif. Saya dan teman-teman mengelola juga media online, MataKita.co, salah satu sumber bacaan dan berita yang dikelola oleh anak-anak muda. Pak Fery melabuhkan idenya, menjadi kolumnis tetap di media ini, dan tulisannya memberi warna baru bagi khasanah intelektual.
Sebagai praktisi-intelektual, ide-idenya cemerlang, gagasannya melampaui posisi dan kekuasaanya. Fery adalah perpaduan yang khas dan titik temu yang indah diantara kecemerlangan ide dan kesederhanaan kekuasaan, diantara ketegasan hukum dan mata air kebijaksanaan. Ia lelaki bersahaja dengan segenap kelembutan sekaligus ketegasan yang tak terucap, kemegahan intelektual tak terperi dan kerendahan hati yang memukau. Lelaki Minang yang berlabuh di kapal raksasa Adhayaksa, menyebarkan kebajikan melalui tulisan-tulisan bernas-nya, menyalakan cahaya lilin di tengah gulitanya penegakkan hukum.
Sebagai kawan diskusi dan teman “bergosip”, saya seringkali bercanda setiap tulisannya dimuat. “Telah datang sinar cahaya dari flyover, menerangi gelapnya hukum di negeri ini”, canda saya suatu ketika. Suatu waktu, Fery menulis Quo Vadis Eksistensi Jaksa Pengacara Negara Sebagai Pilar Penegakan Hukum Modern. Salah satu kalimatnya yang sangat filosofis, Fery mengatakan; Kiblat hukum progresif selalu menuju pada hukum untuk manusia. Paradigma penegakan hukum modern tidak hanya didasarkan pada kepastian hukum semata, tetapi menjunjung nilai keadilan dan kebermanfataan bagi masyarakat luas”. Bukankah ada kedalaman makna saat ia menyebut “hukum untuk manusia”?. Tidak kah sepanjang etalase sejarah, hukum lebih determinan untuk kekuasaan?. Meskipun pemegang kekuasaan itu manusia.
Fery adalah pembela korps yang paling elegan. Ia tidak mengucapkan dengan nada dan tensi yang keras, pun tidak dengan menunjuk langsung korps nya sebagai yang paling baik. Ia membangun narasi yang ilmiah, dengan teori dan konsep, dengan basis argumen yang kuat, dan dengan data yang akurat. Fery menyingkap tabir dan membuka dokumen, merumuskan kata-kata yang paling sederhana dan sopan, lalu mengangkat bendera dengan tenang, mengucapkan, bahwa “Adhyaksa layak dibela, patut diperjuangkan dan jelas cukup penting bagi negeri ini”.
Hukum bagi Fery tak cukup dengan pasal-pasal, ia harus menyebarkan virus kesadaran ke seluruh relung hati dan pikiran, mempengaruhi tindakan dan meresap bersama “pori-pori” keadilan, mengalir bersama “darah” kepastian, dan “bercucur keringat” kemanfaatan. Hukum adalah senjakala yang bertuan pada manusia, dan tidak menghamba pada kekuasaan.
Kecerdasan Fery tidak datang dari ruang hampa sosial. Kecemerlangan idenya tidak muncul tiba-tiba. Ia menempanya dengan peluh dan keringat. Selain alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas tahun 1993, menyelesaikan S2 Hukum Bisnis Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 2002, entah karena hausnya akan ilmu pengetahuan atau karena penasaran, Fery menyelesaikan pula S2 Universitas Wijaya Putra Surabaya Administrasi Kebijakan Publik tahun 2008. Fakta ini menunjukan, bahwa lelaki ini benar-benar seorang intelektual yang memburu ilmu, disamping praktisi yang menegakan hukum.
Untuk mengukuhkan dirinya sebagai praktisi intelektual itu, Fery pernah menjadi Dosen pengampu beberapa mata kuliah Ilmu Hukum pada Fakultas Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari Tahun 2004 s/d 2008, pernah menjadi Dekan Fakultas Ilmu Hukum Universitas 19 November Kolaka (USN) Sulawesi Tenggara Tahun 2005 s/d 2009 dan juga pernah menjadi Ketua Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Administrasi Publik Universitas Wijaya Putera Surabaya kelas Kolaka Tahun 2006 s/d 2009. Bukankah ini merupakan satu kenyataan, bahwa ia adalah putra negeri ini, yang memadukan antara dunia praktisi dan akademisi?.
Karena tak mau berhenti belajar, kini ia sedang menyelesaikan S3 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Dengan usia paruh baya, Datuak Toembidjo – demikian gelar adat Minang yang ia sandang – ini membagi waktunya secara disiplin dan ketat. Tiap kali terbit tulisannya, ia selalu mengirim dulu ke saya, lalu dengan kelakar saya mengomentari semua tulisannya. Ia tipe yang tak mau berhenti, meskipun terhimpit diantara lorong waktu. Menepi untuk belajar, baginya adalah kewajiban.
Beruntunglah Korps Adhyaksa punya orang sepertinya, menjadi cahaya yang menyebarkan kebaikan dan membela Kejaksaan dengan nada yang halus dan sopan, kalimat yang rapi dan diksi yang ilmiah, tak pernah meninggikan suaranya meskipun nada intelektualnya penuh tekanan, wajahnya datar namun kalimat-kalimatnya serius, pergaulannya luas dan cakrawala pikirannya membentang seluas samudra. Fery adalah salah satu yang akan abadi, sebab ia tak berhenti menulis.
Selamat bertugas di tempat yang baru kawan diskusi yang renyah, bernas dan bersahaja. Jangan lupa kembali ke Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas Hukum Unhas.