Penulis: Dt. Mangkuto Alam

Sebagian orang kita kenal lewat pertemuan, sebagian lagi kita kenal lewat cerita, dan tak
jarang, justru yang terakhir itu lebih membekas dalam kesadaran. Saya mengenal Dt.
Toembidjo dengan cara yang kedua: melalui kisah-kisah keberanian dan keteguhan
sikapnya, jauh sebelum takdir mempertemukan kami.
Tahun 2016, saat saya bekerja di Batam, nama beliau sudah banyak disebut dengan penuh
hormat. Beliau menjabat sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Kepulauan Riau.
Saya belum pernah bertemu langsung, belum pernah bersalaman, tapi nama itu datang kepada
saya tidak seperti nama kebanyakan. Ia membawa wibawa.
Puncaknya, ketika publik dihebohkan oleh kasus besar yang dikenal dengan tajuk “Jaksa
Tangkap Jaksa”, dalam dugaan korupsi dan pencucian uang terkait dana Askes dan JHT
PNS serta THL di Asuransi Bumi Asih Jaya (BAJ). Nama Dt. Toembidjo tampil sebagai
penegak hukum yang tak gentar, bahkan ketika yang ditindak berasal dari institusinya sendiri.
Saat itulah dalam hati saya tumbuh rasa kagum yang jujur:
“Berani betul Datuak ini. Kalau bukan orang yang berakar dalam adat, mustahil berani
melawan arus begini.”
Itu bukan keberanian biasa. Itu adalah integritas yang langka.
Saya merasa, ini bukan sekadar penegak hukum, ini adalah seseorang yang menjadikan
gelar Datuak sebagai jalan hidup. Bukan gelar untuk disanjung, tapi untuk dijalankan.
Sayangnya, kami belum sempat bertemu di Kepri.
Ketika beliau dilantik menjadi Kajari Bukittinggi tahun 2019, saya sudah tidak lagi di
Batam karena mutasi kerja ke Jakarta. Namun rasa hormat itu tidak berpindah. Saya tetap
mengikuti perjalanan beliau dari jauh, dari media sosial, dari kabar organisasi, dari beritaberita tentang kinerja dan prestasinya.
Lalu, pada 2022, beliau dipercaya memegang jabatan strategis sebagai Kepala Bidang
Strategi Kebijakan Penegakan Hukum Intelijen, Pidana dan Perdata serta Tata Usaha
Negara di Kejaksaan Agung RI. Saya kian optimis: “Kami kini sama-sama di Jakarta.
Pasti ada kesempatan bertemu.” Apalagi saya tahu, beliau juga aktif di DPP IKM, sebagai
pengurus Departemen Adat Alam Minangkabau.
Tapi waktu rupanya belum memberi izin. Pertemuan itu belum ditakdirkan.
Tak lama berselang, datang kabar bahwa beliau mendapat amanah baru sebagai Asisten
Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) di Kejati Sulsel, Makassar. Saya
hanya bisa tersenyum. Mungkin, Jakarta memang bukan panggungnya. Barangkali Allah
telah menyiapkan ruang temu yang lebih bermakna yang mana saya juga berada di Makassar.
Dan benar saja, pertemuan itu akhirnya terjadi di lantai 19 Gedung Fajar Graha Pena
Makassar, dalam forum “Carito Minangkabau”, bagian dari IKM Sapayuang Sulsel.
Saat itulah saya merasa:
Saya tidak sedang bertemu untuk pertama kali. Saya sedang menyambung jejak takdir
yang sudah lama mengalir.
Dari situ, kedekatan kami tumbuh alami.
Kami berdiskusi, bertukar pikiran, menggali adat dan budaya, mengurai peran Niniak
Mamak dalam konteks perantauan, dan membahas Minangkabau tidak dari nostalgia,
tapi dari kesadaran yang hidup.
Bersama beliau, saya tidak hanya menemukan teman diskusi. Saya menemukan cermin.
Bahwa ternyata, di tengah jabatan tinggi, masih ada yang menjunjung adat lebih tinggi
dari pangkat.
Bahwa masih ada yang menjalankan gelar Datuak bukan sekadar dengan saluak di
kepala, tapi dengan keberanian memikul marwah di dada.
Dt. Toembidjo adalah representasi langka dari keseimbangan antara pejabat dan
penghulu. Ia bukan tipe yang suka memamerkan asal usul, tapi perilakunya memancarkan
kampung halaman. Ia tidak menyebut adat di setiap kalimatnya, tapi langkahnya adalah
perpanjangan adat itu sendiri. Dan di tengah banyaknya yang sibuk menggosok nama di
permukaan, beliau justru menanam akar ke dalam.
Kini, beliau akan kembali ke pusat, menjabat sebagai Koordinator Jamdatun Kejaksaan
Agung RI. Saya merasa haru, bukan hanya karena kepergian beliau dari Makassar, tapi
karena saya tahu:
negara sedang menitipkan kepercayaan kepada seseorang yang paham benar apa itu
kehormatan, apa itu tanggung jawab, dan apa itu harga diri.
Saya percaya,
beliau tidak hanya akan menjalankan tugas negara. Beliau akan membawa ruh adat ke
tempat yang lebih tinggi, bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk menunjukkan
bahwa Minangkabau masih punya anak negeri yang tak hilang akarnya.
Dengan rasa hormat yang dalam,
Saya melepas beliau bukan sebagai kawan biasa,
tapi sebagai sesama Niniak Mamak yang paham bahwa gelar itu bukan warisan—tapi
pengabdian.
Dan saya yakin, dimanapun Dt. Toembidjo berdiri, di sanalah marwah itu ditegakkan.