Jakarta (10/08) — H. Ferry Taslim., S.H., M.Hum., M.Si., Dt. Toembidjo, Koordinator I pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung RI, menutup Diskusi Nasional bertema “Pendaftaran Tanah Ulayat: Antara Harapan dan Tantangan untuk Jaminan Hak Masyarakat Hukum Adat” dengan doa penuh kekhidmatan, Ahad (10/8) di Universitas YARSI Jakarta.
Dalam forum yang dihadiri ratusan peserta secara langsung dan daring ini, dipaparkan fakta bahwa sebanyak 324 dari 543 nagari induk di Sumatera Barat telah kehilangan tanah ulayatnya. Ketiadaan dokumen hukum yang sah menjadi penyebab utama, sehingga tanah tersebut beralih status menjadi tanah negara atau jatuh ke pihak lain.
Pakar tanah ulayat Prof. Kurnia Warman dari Universitas Andalas mengungkapkan, tanah ulayat adalah kekayaan kolektif nagari yang harus dilindungi secara yuridis, bukan hanya secara fisik. Ia mendorong setiap nagari menyusun tambo nagari sebagai dokumen sejarah, batas wilayah, dan asal-usul tanah, yang dapat menjadi dasar penerbitan sertifikat tanah ulayat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Batas nagari dan ulayat tidak bisa hanya tunjuk-tunjuk, harus jelas patoknya. Dan itu hanya bisa dilakukan BPN,” ujarnya.
Diskusi dipandu oleh H. Basril Djabar dengan moderator Firdaus HB, menghadirkan narasumber utama Teddi Guspriadi (Kepala Kanwil BPN Sumbar), Prof. Kurnia Warman, Fauzi Bahar Datuak Nan Sati (Ketua LKAAM Sumbar), Prof. Salmadanis (Ulama Sumbar), dan Wendra Yunaldi (Dosen FH UM Sumbar).
Di penghujung acara, doa penutup yang dipimpin H. Ferry Taslim menjadi penegasan moral sekaligus pengingat spiritual bahwa perjuangan menjaga tanah ulayat adalah tanggung jawab kolektif yang memerlukan landasan hukum yang kuat. Dengan pengalaman dan otoritasnya di bidang hukum perdata dan tata usaha negara, beliau menutup forum tersebut dengan pesan implisit: hak adat hanya akan lestari jika dijaga dengan kepastian hukum.